I wrote this essay as a requirement to become a member of TC KOPMA UGM (Trainer Community)
Belakangan ini istilah “trainer” marak diperbincangkan khalayak umum, terutama di bidang pendidikan. Istilah ini bahkan menggeser istilah yang sebelumnya ada seperti pendamping, penyuluh, motivator, dan fasilitator. Beragam program yang mengatasnamakan “trainer” seperti ESQ (Emotional Spiritual Quotient), NLP (Neuro Linguistic Programming), dan AOT (Aktivasi Otak Tengah), kian menjadikan istilah “trainer” sebagai primadona bagi sekelompok orang yang ahli dalam psikologi pendidikan semacam itu. Apakah hanya mereka yang disebut sebagai seorang “trainer”? Sejatinya seperti apakah trainer itu?
Kata “trainer” diambil dari bahasa Inggris yang berarti pelatih, atau pendidik. Schwarz dalam bukunya, The IAF Handbook of Group Facilitation: Best Practice from the Leading Organization in Facilitation (2005), menekankan bahwa tugas utama trainer adalah membantu kelompok untuk meningkatkan efektivitas dengan cara memperbaiki proses dan struktur. Proses mengacu pada bagaimana kelompok bekerja, semisal bagaimana mereka bicara satu sama lain (berkomunikasi), bagaimana membuat keputusan ataupun mengelola konflik. Sementara, struktur mengacu pada proses yang stabil dan berulang seperti pembagian peran dalam kelompok. Singkatnya, trainer adalah orang yang membantu anggota kelompok untuk saling berinteraksi secara nyaman, konstruktif, dan kolaboratif sehingga kelompok dapat mencapai tujuannya. Untuk itu semua, seperti ditekankan Kaner (Facilitator’s Guide to Participatory Decision Making, 2007), trainer mesti netral dalam isi (content-neutral). Artinya, senantiasa memberikan materi tersirat sarat makna (misal dalam suatu permainan) dan selalu menghargai apa yang diungkapkan kelompok.
Sementara menurut penulis pribadi, yang pantas dikatakan sebagai trainer adalah seseorang yang mampu mendidik sekaligus menempa suatu kelompok demi tercapainya tujuan kelompok tersebut (sebagai educator), seseorang yang mampu membangkitkan gairah dan semangat suatu kelompok dalam mengarungi perjalanan menuju cita-cita (sebagai motivator), serta seseorang yang berdedikasi tinggi terhadap kemajuan anggota kelompok yang diampunya (sebagai fasilitator).
Seorang guru sanggar tari dapat dikatakan sebagai seorang trainer jika ia benar-benar mendidik, menempa, memotivasi, dan berdedikasi dalam mengasah muridnya untuk berprestasi di bidang seni tari. Seorang kakak pun dapat dikatakan sebagai trainer bagi adiknya, mana kala sang kakak mampu memberikan pengetahuan dan meningkatkan rasa keingintahuan sang adik. Jadi bukan hanya mereka yang ahli dalam ESQ, NLP, atau AOT saja yang disebut trainer, bahkan bisa jadi mereka pun tidak pantas disebut seorang trainer. Intinya menurut penulis, trainer adalah kombinasi apik antara peran sebagai guru (educator), pemotivasi (motivator), dan pendamping (fasilitator) sekaligus. Bagaimana menurut Anda? Setujukah dengan saya?
08:28 Pagi cerah awal Tahun Baru Hijriyah 1432 H (Selasa, 07 Desember 2010)
Lintang Wisesa Atissalam (NAK: 10865)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Kritikan kie . . .:
Post a Comment
Ayo belajar bareng PMRmania, blognya PMR Indonesia!